Al-Qur’an dan Hak Reproduksi: Antara Otonomi Perempuan, Kesehatan, dan Etika Keberlanjutan Keluarga

Mohammad Nor Ichwan

Gender39 Views

Isu hak reproduksi perempuan dalam Islam sering kali dikelilingi oleh perdebatan teologis, budaya, dan moral. Di satu sisi, muncul narasi yang membatasi otonomi perempuan atas tubuhnya dengan dalih menjaga kesucian keluarga dan fitrah. Di sisi lain, realitas sosial—seperti kesehatan ibu, kesejahteraan anak, dan beban ekonomi—menuntut pendekatan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Dalam konteks ini, Al-Qur’an, sebagai sumber utama ajaran Islam, menawarkan prinsip-prinsip yang dapat menjadi dasar etika reproduksi yang berpihak pada keadilan, kesehatan, dan keberlanjutan keluarga. Meskipun Al-Qur’an tidak secara eksplisit membahas kontrasepsi atau perencanaan keluarga, ia menegaskan nilai-nilai seperti maslahah (kebaikan bersama), ‘adl (keadilan), hifdz al-nafs (menjaga jiwa), dan hifdz al-nasl (menjaga keturunan). Opini ini mengkaji isu hak reproduksi dari perspektif Al-Qur’an, dengan fokus pada otonomi perempuan, kesehatan ibu, dan etika membangun keluarga yang berkelanjutan. Tujuannya adalah menunjukkan bahwa Islam tidak menolak pengaturan reproduksi, selama dilakukan secara sukarela, sehat, dan bertanggung jawab—bukan sebagai bentuk penolakan terhadap anak, tetapi sebagai wujud taklif syar’i (tanggung jawab syariat) terhadap kehidupan yang lebih layak.

Al-Qur’an secara tegas melindungi hak atas kehidupan dan kesehatan, yang tercermin dalam prinsip hifdz al-nafs (menjaga jiwa), salah satu dari lima tujuan syariat (maqasid al-syari’ah). Firman Allah:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS. An-Nisa’ [4]: 29)

Ayat ini tidak hanya melarang bunuh diri, tetapi juga mencakup larangan terhadap tindakan yang membahayakan nyawa, termasuk kehamilan berisiko tinggi akibat kondisi kesehatan, usia, atau frekuensi melahirkan. Dalam konteks reproduksi, ini menjadi dasar kuat bagi perempuan untuk melindungi dirinya dari bahaya fisik dan mental. Selain itu, prinsip maslahah (kebaikan bersama) memungkinkan penggunaan kontrasepsi atau penundaan kehamilan jika diperlukan untuk kesejahteraan keluarga. Ulama seperti Imam al-Ghazali dan Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariat diturunkan untuk mendatangkan manfaat dan mencegah mudarat. Maka, jika kehamilan berulang mengancam kesehatan ibu atau kualitas pengasuhan anak, pengaturan keluarga bukan hanya dibolehkan, tetapi bisa menjadi bentuk tanggung jawab keagamaan.

Dalam Islam, tubuh perempuan bukan objek yang bisa dikendalikan oleh siapa pun, termasuk suami atau keluarga. Al-Qur’an menegaskan martabat manusia secara universal:

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada anak Adam martabat…”
(QS. Al-Isra’ [17]: 70)

Martabat ini mencakup hak atas integritas fisik dan otonomi reproduksi. Nabi Muhammad ﷺ pernah menyetujui praktik ‘azl (kondom atau pantang berkala) yang dilakukan oleh sahabat, dengan syarat ada izin dari istri (HR. Bukhari-Muslim). Ini menunjukkan bahwa persetujuan perempuan adalah syarat utama dalam keputusan reproduksi. Dalam konteks modern, prinsip ini harus diperluas: perempuan berhak memilih metode kontrasepsi, menunda kehamilan, atau bahkan memutuskan jumlah anak berdasarkan pertimbangan kesehatan, ekonomi, dan psikologis. Menekan otonomi perempuan atas tubuhnya bertentangan dengan semangat Al-Qur’an yang menempatkan perempuan sebagai subjek moral yang rasional dan bertanggung jawab. Seperti yang disebut dalam QS. Al-Ahzab [33]: 35, laki-laki dan perempuan yang beriman ditempatkan pada derajat yang setara dalam hal pahala dan tanggung jawab spiritual. Maka, keputusan reproduksi harus menjadi hasil musyawarah (QS. Asy-Syura [42]: 38), bukan dominasi satu pihak.

Al-Qur’an memang menempatkan keturunan (nasl) sebagai salah satu nikmat utama:

“Anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…”
(QS. Al-Kahfi [18]: 46)

Namun, perhiasan yang indah harus dirawat dengan baik. Memiliki banyak anak tanpa kemampuan memenuhi hak-hak mereka—seperti pendidikan, kesehatan, dan kasih sayang—bisa menjadi bentuk kelalaian. Dalam QS. Al-Isra’ [17]: 31, Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan; Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.”

Ayat ini sering dikutip untuk melarang wa’d (pembunuhan anak), bukan untuk melarang perencanaan keluarga. Justru, ayat ini menegaskan bahwa Allah yang memberi rezeki, sehingga manusia harus bertindak dengan pertimbangan bijak, bukan ketakutan buta. Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dan Nikah Muflih membolehkan kontrasepsi dengan syarat tidak membahayakan kesehatan dan dilakukan atas dasar kemaslahatan keluarga. Dalam konteks Indonesia, di mana stunting masih tinggi dan beban ekonomi besar, pengaturan keluarga justru menjadi bentuk tanggung jawab sosial dan religius. Kualitas pengasuhan lebih penting daripada kuantitas anak. Maka, etika keberlanjutan keluarga harus berpijak pada keseimbangan antara iman, kesehatan, dan kemampuan.

Di banyak masyarakat Muslim, termasuk Indonesia, isu hak reproduksi masih diwarnai stigma. Perempuan yang menggunakan kontrasepsi sering dituduh “tidak ikhlas” atau “menolak takdir”. Padahal, Islam mengajarkan ikhtiar (usaha) dan tawakkal (pasrah), bukan pasifisme. Program Keluarga Berencana (KB) yang diluncurkan sejak era 1970-an di Indonesia telah mendapat dukungan dari MUI dan ormas Islam, karena dianggap sesuai dengan prinsip maslahah dan hifdz al-nafs. Namun, tantangan tetap ada:

  • Kurangnya edukasi reproduksi berbasis agama.
  • Dominasi narasi patriarki yang mengambil alih keputusan dari perempuan.
  • Ketidaksetaraan dalam akses layanan kesehatan reproduksi.
    Untuk itu, perlu pedoman keagamaan yang jelas dari ulama progresif, pelatihan bagi imam dan mubalig, serta kampanye publik yang menggabungkan wawasan Al-Qur’an dan kesehatan modern. Negara juga harus memastikan bahwa hak reproduksi dilindungi, bukan dikriminalisasi.

Hak reproduksi bukan sekadar isu medis atau ekonomi, tetapi dimensi keagamaan yang mendalam. Al-Qur’an tidak mengatur metode kontrasepsi secara teknis, tetapi memberikan prinsip-prinsip universal: perlindungan jiwa, keadilan, musyawarah, dan kemaslahatan keluarga. Dalam kerangka ini, otonomi perempuan atas tubuhnya bukan bentuk pemberontakan terhadap syariat, melainkan wujud dari penghormatan terhadap martabat manusia yang dianugerahkan Allah. Memilih kapan dan berapa anak untuk dimiliki adalah bagian dari tanggung jawab syar’i, selama dilakukan dengan pertimbangan sehat, izin suami, dan niat yang lurus. Masyarakat Muslim perlu meninggalkan narasi yang membebani perempuan dengan stigma, dan beralih ke pendekatan yang edukatif, empatik, dan berkeadilan. Seperti yang diajarkan Al-Qur’an: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286). Di situlah letak kebijaksanaan dalam membangun keluarga yang berkelanjutan, sehat, dan penuh rahmah.

Daftar Rujukan

  1. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
  2. Ibn Asyur, Muhammad al-Tahir. Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyyah.
  3. Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh al-Tawassuth wa al-Tasamuh.
  4. Roudhah Institute. (2022). Fatwa Kontemporer tentang Kontrasepsi.
  5. WHO. (2023). Reproductive Health and Rights in Muslim-Majority Countries.
  6. Komnas Perempuan. (2023). Laporan Kesehatan Reproduksi Perempuan di Indonesia.
  7. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). (2024). Program KB dan Dukungan Keagamaan.
  8. Ali, Kecia. The Lives of Muhammad. Harvard University Press.
  9. Moosa, Ebrahim. What Is a Madhab?.
  10. Al-Ghazali. Ihya Ulum al-Din, Juz 2.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *