Artikel ilmiah berjudul “Digitization of Religious Tafsir: The Fading of Indonesian Ulama Authority in Post-Truth Era” baru saja terbit tahun 2024 di Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis. Artikel ini ditulis oleh tiga akademisi: Mohammad Nor Ichwan dari UIN Walisongo Semarang, Mustaqim Pabbajah dari Universitas Teknologi Yogyakarta, dan Faizal Amin dari IAIN Pontianak. Publikasi ini kian bergengsi karena jurnal tempat artikel dimuat telah terindeks Scopus Q1 dengan SJR 0,28. Penelitian ini mengangkat isu penting tentang bagaimana digitalisasi tafsir agama di Indonesia memengaruhi otoritas ulama, khususnya di era post-truth, ketika informasi agama mudah tersebar tanpa selalu disertai otoritas dan validitas ilmiah.
Artikel ini berangkat dari fenomena maraknya digitalisasi tafsir agama yang beredar melalui media sosial, blog, hingga kanal video daring. Masyarakat kini cenderung lebih cepat mengakses tafsir dari sumber digital ketimbang bertanya langsung kepada ulama. Akibatnya, otoritas ulama tradisional sebagai rujukan utama pemahaman agama mulai mengalami pergeseran. Di satu sisi, digitalisasi membuka akses luas bagi masyarakat. Namun di sisi lain, informasi yang beredar sering kali dangkal, bias, bahkan menyesatkan. Kondisi ini semakin krusial di era post-truth, di mana popularitas dan viralitas informasi lebih dipercaya ketimbang validitas ilmiah atau otoritas keagamaan yang sebenarnya.
Melalui metode penelitian campuran yang melibatkan wawancara, observasi, dan telaah literatur digital, para penulis menemukan tiga persoalan utama. Pertama, banyak ulama tradisional yang belum memiliki literasi digital memadai, sehingga sulit bersaing dengan “influencer agama” di ruang publik daring. Kedua, masyarakat pengguna media sosial sering kali kurang kritis dalam menyaring informasi agama, sehingga rawan terjebak dalam pemahaman superfisial. Ketiga, muncul bias ideologis akibat dominasi narasi tertentu yang lebih mengandalkan popularitas dibanding kedalaman ilmu. Hasil temuan ini menegaskan bahwa otoritas ulama sedang menghadapi tantangan serius di tengah arus digitalisasi tafsir yang semakin tak terbendung.
Para penulis menekankan bahwa fenomena pudarnya otoritas ulama bukan hanya persoalan adaptasi teknologi, tetapi juga terkait dengan dinamika kepercayaan publik. Ketika generasi muda lebih percaya pada potongan video singkat atau postingan populer di media sosial dibanding kajian mendalam ulama, maka otoritas keilmuan berabad-abad dapat tergeser hanya oleh algoritma digital. Kehadiran “ustaz instan” atau figur agama populer di dunia maya mempersempit ruang ulama yang menekankan kedalaman ilmu. Artikel ini mengingatkan bahwa tanpa penguasaan ruang digital, ulama tradisional akan semakin kehilangan pengaruh, sementara otoritas keagamaan bergeser ke ranah yang lebih pragmatis dan populer.
Dengan terbit di jurnal internasional bereputasi tinggi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis yang terindeks Scopus Q1 (SJR 0,28), artikel ini menambah kontribusi akademik Indonesia dalam diskursus global tentang Islam, teknologi, dan masyarakat. Penulis merekomendasikan dua hal penting: pertama, ulama perlu meningkatkan literasi digital agar mampu bersaing di ruang publik modern; kedua, masyarakat harus didorong untuk lebih kritis dalam menyaring informasi agama daring. Artikel ini menjadi peringatan sekaligus tawaran solusi agar tradisi tafsir Islam tidak kehilangan arah dalam era digital, serta memastikan otoritas ulama tetap relevan di tengah gempuran post-truth.








