Semarang (20/10/2025) — Dalam rangka memperingati Hari Lahir ke-35 Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT), Himpunan Mahasiswa Jurusan IAT Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Menjawab Permasalahan Ekologi melalui Metode Maqosidi” pada Senin, 20 Oktober 2025. Acara ini digelar di Ruang Teater Gedung Rektorat Lantai 4 dan dihadiri oleh sivitas akademika, mahasiswa, serta sejumlah tamu undangan dari berbagai fakultas. Seminar ini menjadi momentum reflektif bagi Jurusan IAT untuk menegaskan perannya dalam menjawab problem kemanusiaan dan lingkungan melalui pendekatan tafsir Al-Qur’an yang kontekstual. Selain memperingati hari lahir jurusan, kegiatan ini juga menjadi wadah intelektual bagi mahasiswa dan dosen untuk memperluas wacana ekoteologis dalam bingkai keilmuan Islam.
Seminar menghadirkan dua narasumber utama yang kompeten di bidang tafsir dan studi Al-Qur’an, yakni Prof. Dr. Mohammad Nor Ichwan, M.Ag, Guru Besar dalam bidang Metodologi Tafsir Al-Qur’an Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang, serta Prof. Dr. Abdul Mustaqim, M.Ag, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kedua pakar tafsir tersebut selama ini dikenal luas sebagai akademisi yang memiliki perhatian besar terhadap isu-isu kontemporer dalam kajian Al-Qur’an, termasuk persoalan etika, ekologi, dan keberlanjutan. Melalui seminar ini, keduanya diharapkan dapat memberikan perspektif baru tentang bagaimana ajaran Islam, khususnya melalui pendekatan maqāsid al-syarī‘ah, mampu memberikan kontribusi nyata dalam menjawab krisis ekologi global yang tengah melanda dunia.
Dalam pemaparannya, Prof. Dr. Mohammad Nor Ichwan menyoroti pentingnya membangun kesadaran ekologis Islam yang berpijak pada nilai-nilai Al-Qur’an. Mengacu pada gagasannya dalam karya berjudul “Antara Ayat Kauniyah dan Ayat Qur’aniyah: Rekonstruksi Etika Ekologis dalam Al-Qur’an sebagai Respons terhadap Krisis Iklim dan Cuaca Ekstrem,” beliau menjelaskan bahwa krisis iklim tidak hanya bersifat ilmiah, tetapi juga mencerminkan krisis spiritual dan moral manusia modern. Menurutnya, Al-Qur’an memandang alam semesta sebagai ayat kauniyah—tanda-tanda kebesaran Allah—yang sejajar kedudukannya dengan ayat Qur’aniyah. Oleh karena itu, kerusakan lingkungan sejatinya merupakan bentuk pelanggaran terhadap amanah kekhalifahan manusia dan penyimpangan dari prinsip keseimbangan (mīzān) yang menjadi fondasi ciptaan Allah.
“Dalam pandangan Al-Qur’an, menjaga alam adalah bagian dari keimanan. Ketika manusia merusak keseimbangan alam, sesungguhnya ia sedang menyalahi fitrahnya sebagai khalifah yang diberi amanah untuk memakmurkan bumi, bukan menghancurkannya,” tegas Prof. Ichwan. Beliau juga menambahkan bahwa maqāsid al-syarī‘ah dapat dijadikan sebagai pendekatan integral dalam memahami dimensi ekologis Islam. Melalui perspektif maqosidi, pelestarian lingkungan menjadi bagian dari tujuan syariat seperti menjaga kehidupan (hifz al-nafs), keturunan (hifz al-nasl), serta menjaga alam sebagai ruang hidup yang memberikan maslahat bagi seluruh makhluk. Dengan demikian, upaya ekologis bukan sekadar tindakan sosial, melainkan ibadah yang bernilai spiritual dan moral tinggi di sisi Allah.
Sementara itu, Prof. Dr. Abdul Mustaqim memberikan pandangan komplementer dengan menyoroti persoalan ekologi dalam kerangka tafsir maqasidi. Menurutnya, problem lingkungan global harus direspons melalui pembacaan ulang teks-teks Al-Qur’an yang berorientasi pada tujuan syariat dan kemaslahatan. Tafsir maqasidi, jelasnya, menuntun umat Islam untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an secara kontekstual, sehingga ajaran yang termaktub dalam wahyu dapat menjawab tantangan zaman, termasuk degradasi lingkungan, perubahan iklim, dan ketimpangan ekologi. “Isu ekologi bukan hanya perkara sains atau kebijakan publik, melainkan juga refleksi moral dan spiritual. Dalam tafsir maqasidi, menjaga alam berarti menjaga keberlangsungan kehidupan, yang menjadi inti dari seluruh maqasid,” terang Mustaqim.
Lebih lanjut, Prof. Mustaqim menjelaskan bahwa paradigma tafsir maqasidi perlu diaktualisasikan dalam pendidikan Islam, agar generasi muda memahami bahwa ibadah tidak terbatas pada ritual, tetapi juga pada tanggung jawab menjaga bumi. Ia menegaskan bahwa manusia diciptakan bukan untuk mengeksploitasi, melainkan untuk menjaga dan menata ciptaan Allah secara adil dan seimbang. Menurutnya, ketika kesadaran ekologis berbasis maqasid tumbuh dalam diri umat Islam, maka pelestarian lingkungan akan menjadi bagian dari budaya spiritual, bukan sekadar agenda akademik atau aktivisme ekologis. Dengan demikian, tafsir maqasidi mampu menjadi jembatan antara teologi, sains, dan moralitas dalam menghadirkan solusi yang menyeluruh terhadap krisis lingkungan.
Kegiatan yang berlangsung dengan suasana khidmat dan dialogis ini disambut antusias oleh para peserta. Diskusi interaktif yang terjadi antara narasumber dan audiens menunjukkan tingginya minat mahasiswa terhadap isu-isu ekologi dalam perspektif keislaman. Selain menambah wawasan ilmiah, seminar ini juga diharapkan dapat menumbuhkan kepedulian ekologis di kalangan generasi muda kampus. Acara ditutup dengan penyerahan cendera mata kepada kedua narasumber dan sesi foto bersama seluruh peserta, dosen, serta panitia penyelenggara.
Melalui penyelenggaraan seminar nasional ini, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Humaniora menegaskan komitmennya untuk terus mengintegrasikan kajian tafsir, maqasid syariah, dan kesadaran ekologis dalam pengembangan keilmuan Islam. Momentum peringatan hari lahir ke-35 ini bukan hanya menjadi ajang refleksi historis, tetapi juga wujud nyata kontribusi akademik IAT dalam menjawab tantangan kemanusiaan dan lingkungan di era modern. Dengan pendekatan keilmuan yang berakar pada nilai-nilai Qur’ani, Jurusan IAT bertekad menjadi pelopor pengembangan wacana tafsir ekologis yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berorientasi pada kemaslahatan semesta.








