Nama Mohammad Nor Ichwan kembali mencuat dalam dunia akademik internasional. Bersama A. Hasan Asy’ari Ulama’i dari UIN Walisongo Semarang, serta dua peneliti asal Libya, Mowafg Abrahem Masuwd dan Naser Ali Abdulghani, ia baru saja menerbitkan artikel ilmiah di Ulumuna: Journal of Islamic Studies Vol. 28, No. 2 tahun 2024. Artikel berjudul “Sufism and Quranic Interpretation: Bridging Spirituality, Culture, and Political Discourse in Muslim Societies” ini mengulas peran penting Sufisme dalam membentuk spiritualitas, budaya, hingga politik masyarakat Muslim. Diterbitkan oleh UIN Mataram, artikel tersebut menjadi sorotan karena berusaha menempatkan Sufisme bukan hanya sebagai tradisi mistik, tetapi juga sebagai kekuatan intelektual yang relevan dengan persoalan sosial kontemporer.
Selama ini, Sufisme sering dipersepsikan hanya sebatas jalan spiritual yang menekankan zikir, wirid, dan penghayatan batin. Padahal, seperti ditunjukkan dalam artikel ini, tafsir Sufi juga membentuk identitas budaya dan wacana politik dalam masyarakat Muslim. Penulis menegaskan bahwa pengaruh Sufisme kerap terabaikan ketika membahas dinamika sosial Islam modern. Melalui kajian ini, mereka berupaya memperlihatkan bahwa Sufisme punya kekuatan dalam menumbuhkan nilai toleransi, mendorong keadilan sosial, serta menawarkan kerangka pemikiran politik yang lebih humanis. Dengan demikian, artikel ini menantang cara pandang lama yang membatasi Sufisme hanya dalam ruang spiritual, sekaligus membuka diskusi baru tentang perannya dalam kehidupan publik.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini cukup kaya. Para penulis menerapkan pendekatan multidisipliner yang mencakup analisis literatur klasik Sufi, penelusuran karya seni, hingga observasi praktik sosial di masyarakat Muslim. Dari sini terlihat bagaimana ajaran-ajaran Sufi, baik dalam teks maupun praktik budaya, berkontribusi pada terbentuknya narasi sosial dan politik. Misalnya, konsep cinta Ilahi dan kerendahan hati yang diajarkan para sufi sering diterjemahkan dalam gerakan sosial yang menekankan perdamaian dan solidaritas. Tak hanya itu, seni dan budaya bercorak Sufi juga terbukti menjadi medium penyebaran nilai-nilai inklusif yang memengaruhi masyarakat luas.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sufisme memiliki peran strategis dalam membangun masyarakat yang lebih terbuka. Nilai-nilai spiritual yang ditanamkan para sufi berkontribusi pada lahirnya wacana politik yang menekankan keadilan sosial, kesetaraan, dan toleransi antarumat beragama. Penulis artikel ini bahkan menegaskan pentingnya memasukkan dimensi spiritual dalam analisis fenomena sosial-politik Islam kontemporer. Tanpa itu, pembahasan politik Islam berisiko kehilangan ruh etis dan moral yang selama ini menjadi fondasi ajaran agama. Karena itulah artikel ini memberi dorongan agar akademisi maupun praktisi politik Islam menengok kembali warisan Sufi, bukan hanya sebagai praktik spiritual, tetapi juga sebagai sumber etika politik.
Dengan terbitnya artikel ini di jurnal bereputasi internasional, kontribusi ilmuwan Indonesia kembali mendapat pengakuan global. Kehadiran Mohammad Nor Ichwan dan timnya di panggung akademik dunia menegaskan bahwa Indonesia memiliki suara penting dalam diskursus Islam kontemporer. Penelitian mereka membuka ruang dialog baru antara tradisi spiritual, budaya, dan politik, sehingga Islam dapat hadir lebih relevan di tengah perubahan zaman. Lebih dari sekadar pencapaian akademik, publikasi ini juga menjadi kebanggaan bagi UIN Walisongo dan UIN Mataram sebagai institusi penerbit. Artikel ini mengingatkan bahwa Sufisme bukanlah tradisi masa lalu yang usang, melainkan warisan hidup yang terus memberi inspirasi dan arah bagi masyarakat Muslim di era modern.








