Istilah Ichwani diambil dari kata Arab akhun, yang berarti saudara. Dalam konteks linguistik Arab, kata ini merujuk pada ikatan darah dan penyatuan berbagai unsur menjadi satu kesatuan yang harmonis. Dalam konteks ini, metode Ichwani, yang dikaitkan dengan pencetusnya, Prof. Mohammad Nor Ichwan, menyampaikan gagasan “persaudaraan” atau “integrasi.” Pemilihan nama ini mencerminkan visi metodologis yang berupaya menjembatani berbagai pendekatan penafsiran yang seringkali dianggap kontradiktif, seperti tradisional-modern atau tekstual-kontekstual. Dengan demikian, secara linguistik, Ichwani menekankan prinsip inklusivitas, kolaborasi antarmetode, dan semangat persaudaraan dalam Islam yang melampaui sekat-sekat perbedaan.
Kata Ichwani juga memiliki dimensi dinamis, karena akar katanya (akhun) digunakan dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan hubungan yang aktif dan saling memperkuat (misalnya, dalam Q.S. 49:10). Hal ini sejalan dengan tujuan metode ini, yang tidak hanya menggabungkan pendekatan secara pasif, tetapi juga secara aktif menciptakan dialog yang produktif antardisiplin ilmu tafsir. Dalam kajian semantik Al-Qur’an, kata ukhuwwah (persaudaraan) sering dikaitkan dengan konsep tauhid, yang dalam konteks metodologi tafsir dapat dimaknai sebagai penyatuan kebenaran yang tersebar di berbagai metode (Almalachim & Maulana 2021). Dengan demikian, istilah ini bukan sekadar label, melainkan filosofi yang mendasari seluruh langkah operasionalnya.
Dalam tradisi pesantren di Indonesia, istilah Ichwan sering digunakan untuk merujuk pada kelompok diskusi atau komunitas belajar, yang menekankan kolaborasi dan pertukaran gagasan. Pemilihan nama ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap akar budaya lokal, tempat metode ini dikembangkan. Secara linguistik, Ichwani sengaja menghindari istilah-istilah Arab murni (seperti tawḥīdī atau jamʿī) untuk menegaskan orisinalitas dan kontekstualitasnya sebagai produk ilmu pengetahuan Islam nusantara. Dengan demikian, istilah ini menjadi simbol integrasi, tidak hanya pada tataran metodologis, tetapi juga pada tataran identitas keilmuan.
Sebagai sebuah metode, istilah tafsir Ichwani berfokus pada aspek teoretis dan aplikasi praktis dalam menjawab isu-isu kontemporer seperti keadilan gender, ekologi, atau teknologi. Berbeda dengan metode klasik yang seringkali berhenti pada otoritas para ulama terdahulu, pendekatan ini secara khusus mencakup analisis sosio-historis kontemporer dan tajdīd sebagai bagian integralnya. Dalam hal ini, pendekatan ini serupa dengan tafsir tematik, tetapi diperluas hingga mencakup dimensi pembaruan (iṣlāḥ) dan keselarasan dengan tujuan-tujuan syarīʿah. Dengan demikian, definisi istilah ini mencakup dimensi epistemologis dan praktis. Dari perspektif ini, metode ini dapat dikategorikan sebagai penafsiran muqāran (komparatif) yang diperkaya dengan pendekatan interdisipliner. Namun, komitmennya untuk menghasilkan sintesis baru, bukan sekadar perbandingan, justru membedakannya. Misalnya, pada langkah kesembilan (penafsiran integratif), penafsir tidak hanya mencatat perbedaan pendapat di antara para ulama, tetapi juga menciptakan penafsiran baru yang secara bersamaan mempertimbangkan bahasa, konteks historis, realitas modern, dan tujuan-tujuan syariat.


