Anak Jadi Konten, Orang Tua Dapat Uang: Di Mana Batas Etika?

Mohammad Nor Ichwan

Isu Aktual45 Views

Di tengah maraknya ekonomi digital, muncul fenomena yang mengguncang prinsip perlindungan anak: anak-anak dijadikan bintang konten media sosial, sementara orang tua menikmati keuntungan finansial dan ketenaran. Dari family vlogger yang membagikan kehidupan sehari-hari hingga kanal YouTube yang menampilkan anak bereaksi terhadap hadiah mewah, batas antara dokumentasi keluarga dan eksploitasi anak semakin kabur. Di Indonesia, channel seperti “The Yassin Family” atau “Rans Kids” memiliki jutaan penontuk dan pendapatan besar dari iklan. Namun, di balik tawa dan ketenaran, muncul pertanyaan kritis: apakah anak benar-benar menyetujui kehadirannya di layar? Apakah hak privasi dan masa kecil mereka terlindungi? Fenomena ini bukan sekadar soal hiburan atau ekonomi, tetapi ujian moral bagi orang tua dan masyarakat. Opini ini mengkaji isu ini dari sudut pandang etika, psikologi, hukum, dan khususnya perspektif Al-Qur’an, yang menempatkan anak sebagai amanah ilahi dan menekankan tanggung jawab orang tua sebagai pemelihara dan pendidik.

Fenomena child influencer kini menjadi bagian dari ekonomi kreatif global. Di YouTube, TikTok, dan Instagram, jutaan konten menampilkan anak-anak sebagai pusat hiburan. Awalnya dimulai sebagai dokumentasi keluarga, namun lambat laun berubah menjadi bisnis menguntungkan. Menurut Forbes (2023), Ryan Kaji dari Ryan’s World menghasilkan lebih dari $29 juta per tahun dari konten anak-anak. Di Indonesia, beberapa family vlogger dilaporkan menghasilkan puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan dari iklan dan endorsemen. Motivasi orang tua beragam: dari sekadar berbagi momen keluarga hingga menjadikannya sebagai sumber utama nafkah. Namun, saat anak menjadi aset ekonomi, muncul pertanyaan: kapan dokumentasi berubah menjadi eksploitasi? Ketika anak dipaksa tampil meski lelah, ketika konten dibuat untuk mendulang views dengan skenario dramatis, atau ketika privasi keluarga dijual untuk konsumsi publik—maka batas etika mulai terlampaui. Masa kecil, yang seharusnya menjadi ruang aman, berisiko berubah menjadi produksi konten 24 jam. Dalam konteks Islam, hal ini bertentangan dengan prinsip dasar bahwa anak bukan milik orang tua, melainkan amanah dari Allah.

Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa anak dan harta adalah ujian dari Allah, bukan milik mutlak orang tua. Firman-Nya:

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal saleh yang abadi lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik sebagai harapan.”
(QS. Al-Kahfi [18]: 46)

Ayat ini menegaskan dua hal penting:

  1. Anak adalah perhiasan (zinah)—indah, menggoda, dan bisa menjadi sumber kesombongan.
  2. Namun, yang lebih utama adalah amal saleh, bukan popularitas atau kekayaan duniawi.

Selain itu, dalam QS. At-Tahrim [66]: 6, Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka…”

Ayat ini tidak hanya menekankan tanggung jawab spiritual, tetapi juga perlindungan secara fisik, emosional, dan digital. Jika media sosial bisa merusak identitas, harga diri, dan masa depan anak, maka orang tua yang mengeksploitasi anaknya secara digital bisa dianggap lalai dalam menjalankan amanah ini. Anak bukan objek hiburan publik, melainkan makhluk yang sedang dalam proses pembentukan jiwa (tarbiyah), sebagaimana disebut dalam QS. Al-Baqarah [2]: 124, ketika Ibrahim diuji dengan anak-anaknya, tetapi tetap ditempatkan dalam bingkai ketaatan dan pendidikan, bukan komodifikasi.

Salah satu isu etis paling mendasar adalah ketiadaan informed consent dari anak. Anak-anak, terutama yang masih balita, tidak mampu memahami konsekuensi dari jejak digital mereka yang abadi. Mereka tidak bisa memilih apakah ingin dikenal publik, difilmkan saat marah atau menangis, atau diberi label seperti “anak bandel” di kolom komentar. UNICEF (2023) menyebut fenomena ini sebagai digital birth—anak lahir tidak hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya, tanpa izin. Ini bertentangan dengan prinsip Islam bahwa setiap manusia memiliki hak atas kehormatan dan privasi. Al-Qur’an berfirman:

“Janganlah kamu mencari-cari aib orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 12)

Mengungkap aib, kelemahan, atau emosi anak untuk konsumsi publik bisa dikategorikan sebagai bentuk ghibah digital. Selain itu, dalam QS. An-Nur [24]: 31, Allah memerintahkan untuk menjaga aurat dan privasi, yang dalam konteks modern mencakup tubuh, suara, dan citra seseorang—termasuk anak. Orang tua yang mengekspose anak secara berlebihan, terutama dalam konteks komersial, bisa dianggap melanggar hak ini. Anak bukan milik orang tua, tetapi titipan sementara yang suatu hari akan dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana sabda Nabi: “Kamu semua adalah pemimpin, dan kamu semua bertanggung jawab atas yang dipimpin.” (HR. Bukhari-Muslim).

Eksposur berlebihan di media sosial dapat berdampak serius terhadap kesehatan mental dan perkembangan identitas anak. Penelitian oleh Livingstone & Blum-Ross (2020) menunjukkan bahwa anak yang tumbuh di bawah sorotan publik berisiko mengalami gangguan citra diri, tekanan performa, dan kecemasan sosial. Mereka belajar bahwa nilai diri diukur dari jumlah like, bukan dari karakter. Dalam pandangan Al-Qur’an, jiwa anak harus dilindungi dari kerusakan (fasad). Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan hak.”
(QS. Al-An’am [6]: 151)

Meskipun tidak secara harfiah membunuh, merusak psikologi, identitas, atau masa depan anak melalui eksploitasi digital bisa dimaknai sebagai bentuk pembunuhan sosial dan emosional. Selain itu, anak yang dipaksa menangis atau marah untuk konten sedang mengalami manipulasi emosional, yang bertentangan dengan pendidikan berbasis kasih sayang (rahmah), sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad ﷺ yang lembut terhadap anak-anak. Dalam QS. Ali Imran [3]: 159, Allah memuji Nabi karena:

“Sesungguhnya kamu berakhlak mulia, dan jika kamu bersikap keras lagi keras hati, niscaya mereka menjauh dari sekitarmu.”

Orang tua yang keras hati terhadap emosi anak demi konten, telah menyimpang dari akhlak ini.

Beberapa negara telah mengatur fenomena child influencer. Prancis melarang iklan yang mengeksploitasi anak di bawah 16 tahun. California menerapkan Coogan Law yang melindungi penghasilan anak. Di Indonesia, regulasi masih sangat terbatas. Meskipun UU Perlindungan Anak (No. 35/2014) dan UU ITE mengatur privasi, belum ada aturan khusus tentang konten anak di media sosial. KPAI (2024) telah merekomendasikan pedoman etis bagi family vlogger. Namun, regulasi harus diperkuat dengan landasan moral dan religius. Al-Qur’an menekankan:

“Dan janganlah kamu serahkan harta yang dijadikan Allah sebagai sarana kehidupanmu kepada orang-orang yang tidak waras (dalam pengelolaan).”
(QS. An-Nisa’ [4]: 5)

Anak adalah “harta” yang diberikan akal dan perasaan, tetapi belum mampu mengelola dirinya di ranah digital. Maka, orang tua harus menjadi pengelola yang adil (qawwam), bukan yang mengeksploitasi. Kemenkominfo, KPAI, dan ormas Islam perlu bersinergi menyusun kode etik berbasis Al-Qur’an dan HAM, serta memberikan edukasi tentang digital parenting yang bertanggung jawab.

Anak bukan komoditas, bukan konten, bukan alat mencari uang atau popularitas. Dalam pandangan Al-Qur’an, anak adalah amanah, ujian, dan rahmat yang harus dilindungi dari kerusakan dunia dan akhirat. Ketika orang tua mendapat uang dari tawa, air mata, atau kepolosan anak, kita harus bertanya: apakah ini bentuk syukur atas amanah, atau bentuk kezaliman terhadap yang lemah? Kebebasan berekspresi di media sosial tidak boleh mengorbankan hak asasi anak, terutama hak atas privasi, perlindungan, dan masa depan yang bebas dari tekanan digital. Masyarakat, pemerintah, dan platform digital harus bersinergi menciptakan ekosistem yang melindungi anak. Orang tua perlu diingatkan bahwa kelak mereka akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, bukan hanya di hadapan algoritma media sosial. Seperti yang dikatakan aktivis hak anak: “Anak berhak menjadi anak—bukan selebriti.” Dan seperti yang diajarkan Al-Qur’an: “Lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Di situlah letak batas etika yang suci dan tak boleh dilampaui.

Daftar Rujukan

  1. Al-Qur’an, terjemahan dan tafsir Departemen Agama RI.
  2. UNICEF. (2023). Children’s Rights in the Digital Environment.
  3. Livingstone, S., & Blum-Ross, A. (2020). Parenting for a Digital Future. Oxford University Press.
  4. KPAI. (2024). Laporan Perlindungan Anak di Ruang Digital.
  5. Komnas Perempuan. (2023). Kekerasan terhadap Anak dalam Konten Digital.
  6. European Parliament. (2023). Protecting Children in the Digital Age.
  7. BBC News. (2024). The Rise of the Child Influencer.
  8. Republika. (2023). Etika Bermedia Sosial dalam Perspektif Islam.
  9. Forbes. (2023). The World’s Highest-Paid Child Influencers.
  10. Ibn Kathir. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  11. Al-Qaradawi, Y. (2000). Fiqh al-Awlawiyyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *