AI di Persimpangan: Antara Kemajuan Teknologi, Kehilangan Pekerjaan, dan Krisis Etika

Mohammad Nor Ichwan

Isu Aktual36 Views

Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/ AI) telah menjadi salah satu kekuatan paling transformatif di abad ke-21. Dari asisten virtual hingga sistem diagnosis medis, dari algoritma rekomendasi hingga pembuatan konten, AI kini menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia. Peluncuran model AI generatif seperti ChatGPT, Google Gemini, dan Sora oleh OpenAI pada 2023–2024 menandai lompatan besar dalam kemampuan mesin untuk meniru kognisi manusia—menulis, berpikir, bahkan mencipta. Namun, di balik kemajuan ini muncul pertanyaan mendasar: apakah kita siap menghadapi dampak AI terhadap pekerjaan dan etika kemanusiaan? Fenomena ini bukan sekadar isu teknologi, melainkan krisis struktural yang mengancam lapangan kerja, memperlebar ketimpangan, dan menantang prinsip moral dasar. Opini ini mengulas dampak AI dari dua dimensi krusial—ekonomi dan etika—dengan pendekatan akademik, berbasis data global dan konteks lokal, serta menawarkan refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus berperan sebagai pengendali, bukan korban, dari revolusi digital ini.

Salah satu dampak paling nyata dari AI adalah potensi penggantian pekerjaan manusia, terutama di sektor yang berbasis rutinitas kognitif. Menurut laporan World Economic Forum (2023), hingga tahun 2027, 44% dari seluruh pekerjaan saat ini akan mengalami otomatisasi sebagian atau penuh. Pekerjaan seperti penulisan konten, penerjemahan, analisis data, desain grafis, hingga layanan pelanggan mulai digantikan oleh AI. Di Indonesia, Bank Dunia (2023) memperkirakan 52% pekerjaan berisiko terdampak otomatisasi, terutama di sektor administrasi, manufaktur, dan jasa. Contoh nyata: perusahaan startup di Jakarta mulai menggunakan AI untuk menyusun laporan keuangan dan membuat konten media sosial, mengurangi kebutuhan terhadap staf kreatif. Namun, AI juga menciptakan peluang baru—seperti AI trainer, prompt engineer, dan data ethicist. Masalahnya, transisi ini tidak merata. Banyak pekerja yang tidak memiliki akses terhadap pelatihan ulang (reskilling), terutama dari kelompok rentan. Jika tidak diantisipasi, AI bisa memperdalam jurang ketimpangan antara mereka yang menguasai teknologi dan yang tertinggal.

Meskipun ancaman penggantian pekerjaan nyata, banyak ahli menekankan bahwa AI tidak harus menggantikan manusia, tetapi bisa menjadi alat kolaborasi. Konsep augmented intelligence—di mana AI memperkuat kapasitas manusia—mulai diterapkan di bidang medis, pendidikan, dan hukum. Sebagai contoh, dokter di RS di Singapura menggunakan AI untuk menganalisis citra MRI, tetapi keputusan akhir tetap di tangan manusia. Di Indonesia, Kemendikbudristek mulai menguji coba AI sebagai asisten guru dalam menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Namun, kolaborasi ini hanya berhasil jika dibarengi dengan reformasi sistem pendidikan dan pelatihan vokasional. OECD (2023) menyarankan agar kurikulum pendidikan menekankan critical thinking, kreativitas, dan empati—kemampuan yang sulit ditiru mesin. Selain itu, pemerintah dan sektor swasta perlu berinvestasi dalam program upskilling massal. Di Finlandia, program nasional “AI Challenge” berhasil melatih lebih dari 1% populasi dalam dasar-dasar AI. Indonesia perlu meniru inisiatif ini agar tenaga kerjanya tidak tergerus oleh gelombang otomatisasi. Tanpa intervensi kebijakan, AI akan menciptakan “ekonomi dua kelas”: satu untuk pencipta teknologi, satu lagi untuk yang tergusur.

Di luar ekonomi, AI memunculkan krisis etika yang mendalam, terutama dalam bentuk deepfake dan disinformasi. Teknologi AI kini bisa menghasilkan video atau suara palsu yang sangat realistis. Pada Januari 2024, beredar rekaman suara palsu Menteri Keuangan AS Janet Yellen yang menyebarkan kepanikan pasar. Di Indonesia, muncul video palsu artis atau pejabat yang digunakan untuk memfitnah atau menipu. Menurut Stanford Internet Observatory (2024), jumlah konten deepfake meningkat 900% dalam dua tahun terakhir. Lebih mengkhawatirkan, AI digunakan untuk menghasilkan konten seksual eksplisit tanpa izin (non-consensual deepfake), yang mayoritas korbannya adalah perempuan. Isu lain adalah privasi data: banyak model AI dilatih dengan data yang dikumpulkan tanpa izin dari internet publik, termasuk karya seniman, jurnalis, dan akademisi. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah hak intelektual dan privasi individu sedang dikorbankan demi kemajuan teknologi? Tanpa regulasi ketat, AI bisa menjadi alat kontrol sosial, pengawasan massal, dan manipulasi opini publik—seperti yang terjadi dalam kampanye politik di berbagai negara.

Respons global terhadap risiko AI mulai menguat. Uni Eropa telah mengesahkan AI Act (2024), kerangka hukum paling komprehensif di dunia, yang mengklasifikasikan AI berdasarkan risiko dan melarang penggunaan AI untuk social scoring atau pengawasan massal. Di AS, Gedung Putih merilis Blueprint for an AI Bill of Rights (2022), meskipun belum menjadi undang-undang. Sementara itu, Indonesia masih dalam tahap awal. Kemenkominfo dan Kemendikbudristek sedang menyusun National AI Strategy, tetapi belum ada undang-undang khusus tentang etika dan penggunaan AI. Beberapa inisiatif lokal, seperti Pusat AI Nasional dan kerja sama dengan universitas, mulai berkembang, tetapi belum menyentuh aspek regulasi dan perlindungan masyarakat. Tantangan utama: bagaimana menyusun regulasi yang melindungi masyarakat tanpa menghambat inovasi? Selain itu, Indonesia perlu memperkuat literasi digital masyarakat agar mampu membedakan informasi asli dan palsu. Tanpa itu, masyarakat rentan terhadap manipulasi, terutama menjelang pemilu atau isu sosial sensitif.

Dalam konteks Indonesia yang religius, isu AI juga perlu dikaji dari sudut pandang nilai kemanusiaan dan etika keagamaan. Dalam Islam, manusia dipandang sebagai khalifah fil ardh (wakil Tuhan di bumi), yang diberi akal dan tanggung jawab moral. Penggunaan AI harus dikembalikan pada prinsip maslahah (kebaikan bersama) dan mafsadah (kerusakan). Jika AI digunakan untuk memudahkan hidup, menyembuhkan penyakit, atau meningkatkan pendidikan, maka ia mendapat tempat dalam nilai-nilai Islam. Namun, jika digunakan untuk menipu, mengeksploitasi, atau merusak martabat manusia, maka ia bertentangan dengan ajaran agama. Ulama seperti Prof. Azyumardi Azra dan Dr. Nadhiva Yahya menekankan perlunya fiqh teknologi—pemahaman hukum Islam yang adaptif terhadap perkembangan zaman. Di luar Islam, ajaran agama lain juga menekankan bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan menggantikannya. AI tidak boleh menghilangkan nilai-nilai seperti empati, keadilan, dan tanggung jawab. Karena pada akhirnya, mesin tidak bisa merasakan penderitaan, tidak bisa bertobat, dan tidak bisa memahami makna kemanusiaan.

Kecerdasan Buatan bukan ancaman yang harus ditakuti, tetapi ujian bagi kebijaksanaan dan tanggung jawab manusia. Ia bisa menjadi alat pemberdayaan atau senjata destruksi, tergantung pada siapa yang mengendalikannya dan untuk tujuan apa. Dampaknya terhadap pekerjaan tidak bisa dihindari, tetapi bisa dimitigasi melalui pendidikan ulang, kebijakan sosial, dan investasi dalam keterampilan masa depan. Sementara itu, isu etika membutuhkan regulasi yang kuat, kesadaran publik, dan komitmen kolektif terhadap kebenaran dan keadilan. Indonesia, sebagai negara dengan populasi muda dan dinamis, memiliki peluang besar untuk menjadi pelaku aktif dalam revolusi AI, bukan hanya konsumen pasif. Namun, ini hanya mungkin jika kita membangun ekosistem yang inklusif, etis, dan berkeadilan. Seperti yang dikatakan oleh filsuf Yuval Noah Harari: “Teknologi bukan menentukan nasib kita, tetapi pilihan kita dalam menggunakannya yang menentukan.” Masa depan bukan milik AI, tetapi milik manusia yang mampu mengendalikannya dengan bijak.

Rujukan

  1. World Economic Forum. (2023). The Future of Jobs Report 2023.
  2. World Bank. (2023). Indonesia Economic Prospects: Digital Transformation.
  3. OECD. (2023). AI and the Future of Skills.
  4. Stanford Internet Observatory. (2024). The State of Deepfakes.
  5. European Commission. (2024). EU AI Act: First Comprehensive Regulation on AI.
  6. Kemenkominfo RI. (2023). Rancangan Strategi Nasional Kecerdasan Buatan.
  7. UNICEF. (2023). Children’s Rights in the Age of AI.
  8. Harari, Y. N. (2023). Nexus: A Brief History of Information Networks from the Stone Age to AI.
  9. Azra, A. (2022). Islam, Sains, dan Modernitas. Penerbit Mizan.
  10. BBC News. (2024). How AI is Changing the Global Workforce.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *