Nama besar Muhammad Abduh kembali mendapat sorotan melalui sebuah artikel ilmiah terbaru berjudul “Muhammad Abduh and Sufism: Building Spiritual Consciousness in the Context of Social Change”. Artikel ini ditulis oleh Moh. Nor Ichwan, Mowafg Masuwd, Mokh. Sya’roni, dan Naser Ali Abdulghani, dan dipublikasikan dalam Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 14, Nomor 1, Juni 2024. Jurnal ini merupakan jurnal bereputasi internasional yang terindeks Scopus Q1 dengan SJR 0,22, sehingga publikasi ini menunjukkan pencapaian akademik yang sangat bergengsi. Artikel ini membedah bagaimana Abduh, seorang tokoh pembaharu Islam abad ke-19 di Mesir, memanfaatkan Sufisme bukan sekadar sebagai jalan spiritual, melainkan juga sebagai pilar moral dalam menghadapi perubahan sosial yang dipicu oleh kolonialisme Eropa dan program modernisasi Muhammad Ali.
Penelitian ini menunjukkan bahwa Abduh memiliki pandangan visioner dengan mengintegrasikan ajaran-ajaran Sufi ke dalam kerangka reformasi sosial. Jika pada masa itu Sufisme sering dianggap hanya berfokus pada penghayatan batin, Abduh justru melihatnya sebagai energi moral yang bisa menopang transformasi masyarakat. Dalam pandangannya, Sufisme tidak boleh hanya berhenti pada ruang spiritual personal, melainkan harus hadir dalam ranah sosial, membimbing umat untuk bersikap etis, adil, dan harmonis di tengah perubahan zaman. Hal ini menjadi bukti bagaimana Abduh berusaha menafsirkan kembali tradisi Islam agar tetap relevan dengan konteks modernitas.
Artikel ini menggunakan metode analisis teks terhadap karya-karya Abduh dan literatur sekunder yang relevan. Dari sana, para penulis menemukan bahwa strategi Abduh menempatkan Sufisme sebagai instrumen moral sangat efektif dalam merespons tantangan modernitas. Misalnya, ketika modernisasi membawa arus perubahan sosial dan politik, Abduh mengingatkan pentingnya menjaga kesadaran spiritual agar masyarakat tidak kehilangan arah etika. Dengan cara ini, ia berhasil memadukan dua dunia yang kerap dipertentangkan: tradisi spiritual yang kaya dan tuntutan modernitas yang progresif. Penekanan pada kesadaran moral menjadikan Sufisme bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi kekuatan hidup yang menopang reformasi sosial.
Temuan artikel ini mengungkap bahwa Abduh berhasil memposisikan Sufisme sebagai penopang harmoni sosial. Ia melihat bahwa modernitas tanpa fondasi spiritual akan melahirkan masyarakat yang rapuh secara moral. Sebaliknya, spiritualitas tanpa keterbukaan pada perubahan hanya akan menjauhkan umat dari dinamika zaman. Oleh karena itu, Abduh mengajukan sintesis: modernitas harus dipandu oleh nilai spiritual Sufi, sementara Sufisme harus mampu membuka diri terhadap realitas sosial yang berubah. Dengan pandangan itu, Abduh tidak hanya menjaga tradisi Islam tetap hidup, tetapi juga menjadikannya motor penggerak reformasi.
Publikasi artikel ini di Teosofi, jurnal terindeks Scopus Q1 dengan SJR 0,22, menegaskan pentingnya kajian tentang hubungan antara Sufisme dan reformasi sosial, sekaligus mengangkat nama para akademisi penulisnya, khususnya Moh. Nor Ichwan dan rekan-rekan, ke dalam diskursus internasional. Artikel ini mengajak pembaca untuk melihat Sufisme bukan sekadar sebagai jalur mistis yang eksklusif, tetapi sebagai warisan Islam yang relevan dalam menjawab tantangan sosial, politik, dan budaya. Dengan mengangkat pemikiran Muhammad Abduh, para penulis berhasil menunjukkan bahwa spiritualitas dapat berjalan beriringan dengan modernitas, dan bahkan menjadi fondasi moral yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan berkesadaran tinggi.











