Seks dan Gender: Memahami Perbedaan Mendasar antara Biologi dan Identitas Sosial

Mohammad Nor Ichwan

Gender65 Views

Istilah “gender” dan “seks” sering digunakan secara bergantian dalam percakapan sehari-hari, namun keduanya merujuk pada konsep yang berbeda secara mendasar. Seks merujuk pada klasifikasi biologis seseorang—biasanya dikategorikan sebagai laki-laki, perempuan, atau interseks—berdasarkan karakteristik fisik seperti kromosom, hormon, dan organ reproduksi. Sementara itu, gender adalah konstruksi sosial dan budaya yang berkaitan dengan peran, perilaku, ekspresi, dan identitas yang dikaitkan dengan laki-laki, perempuan, atau identitas di luar biner tersebut. Pemahaman yang kabur antara dua konsep ini sering memicu miskomunikasi, stigmatisasi, bahkan diskriminasi terhadap individu yang tidak sesuai dengan norma gender tradisional. Dalam opini ini, kita akan mengupas perbedaan antara seks dan gender secara akademik, menjelaskan pentingnya membedakannya dalam konteks kesehatan, pendidikan, hukum, dan hak asasi manusia, serta menekankan perlunya masyarakat yang inklusif dan berbasis data ilmiah, bukan prasangka.

Secara umum, seks ditentukan pada saat kelahiran berdasarkan penampakan organ genital eksternal. Namun, perkembangan ilmu biomedis menunjukkan bahwa seks bukanlah fenomena biner yang sederhana, melainkan spektrum biologis. Selain kategori laki-laki (kromosom XY) dan perempuan (XX), terdapat individu dengan variasi perkembangan seks (DSD – Disorders of Sex Development) atau yang dikenal sebagai interseks, yaitu mereka yang memiliki kombinasi kromosom, hormon, atau organ reproduksi yang tidak sesuai dengan definisi klasik laki-laki atau perempuan (misalnya XXY, XXX, atau campuran organ). Menurut Intersex Society of North America, sekitar 1 dari 2.000 bayi lahir dengan karakteristik interseks. Sayangnya, banyak dari mereka mengalami operasi “normalisasi” tanpa persetujuan, yang kini dikritik oleh PBB dan WHO sebagai pelanggaran hak asasi. Dengan demikian, seks—meskipun berbasis biologi—bukanlah kategori mutlak, tetapi kompleks dan bervariasi, sehingga tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya dasar untuk menentukan identitas seseorang.

Berbeda dengan seks, gender adalah konsep sosial dan psikologis yang mencakup cara individu memahami dan mengekspresikan identitas mereka sebagai laki-laki, perempuan, keduanya, keduanya tidak, atau di luar kategori tersebut. Gender meliputi peran sosial, ekspresi diri (seperti pakaian dan perilaku), dan identitas internal (apakah seseorang merasa sebagai laki-laki, perempuan, non-biner, genderqueer, dll). Konsep ini tidak ditentukan oleh biologi, melainkan oleh pengaruh budaya, lingkungan, dan pengalaman hidup. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan gender sebagai “peran, perilaku, aktivitas, dan atribut yang dikaitkan oleh masyarakat dengan laki-laki dan perempuan”. Penting untuk dipahami bahwa gender bisa selaras (cisgender) atau tidak selaras (transgender) dengan seks biologis seseorang. Misalnya, seseorang yang lahir dengan organ perempuan (seks perempuan) tetapi mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki adalah transgender laki-laki. Menghormati identitas gender adalah bagian dari penghormatan terhadap martabat manusia dan kesehatan mental.

Memahami perbedaan antara seks dan gender bukan hanya soal akademik, tetapi berdampak langsung pada kebijakan publik, layanan kesehatan, dan hak asasi manusia. Dalam bidang kesehatan, misalnya, dokter perlu memahami bahwa pasien transgender mungkin memiliki organ reproduksi yang tidak sesuai dengan identitas gendernya, sehingga perawatan harus dilakukan secara sensitif dan individual. Di ranah pendidikan, sekolah yang memahami perbedaan ini cenderung lebih inklusif terhadap siswa non-biner atau transgender. Dalam hukum, negara-negara seperti Kanada, Selandia Baru, dan beberapa negara Eropa telah mengakui identitas gender non-biner dalam dokumen resmi, memungkinkan orang mencantumkan “X” sebagai gender selain “M” atau “F”. Sebaliknya, ketidaktahuan atau penolakan terhadap perbedaan ini sering mengarah pada diskriminasi, kekerasan, dan marginalisasi, terutama terhadap komunitas LGBTQ+. UNESCO (2023) menyatakan bahwa pendekatan yang membingungkan seks dan gender justru menghambat upaya menciptakan masyarakat yang adil dan setara.

Di masyarakat Muslim, isu gender sering kali direspons dengan keraguan atau penolakan, terutama karena dikaitkan dengan pengaruh Barat atau dianggap bertentangan dengan fitrah. Namun, penting untuk membedakan antara konsep ilmiah tentang gender dan praktik sosial tertentu yang mungkin kontroversial. Dalam konteks Islam, meskipun tidak menggunakan istilah modern seperti “gender”, ajaran agama mengakui keragaman manusia. Ulama klasik seperti Imam al-Ghazali dan Ibn Sina membahas kasus khuntha (interseks) dan menyarankan pendekatan yang bijak, bukan diskriminatif. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam berbagai bentuk (QS. Asy-Syams [91]: 7–8), dan bahwa hanya Allah yang mengetahui isi hati manusia (QS. Al-A’raf [7]: 29). Beberapa ulama kontemporer, seperti Dr. Scott Kugle dan Nurkolis Madjid, menekankan perlunya pendekatan yang berempati terhadap individu yang mengalami disforia gender, dengan tetap mengacu pada prinsip rahmah, ‘adl (keadilan), dan hifdz al-nafs (menjaga jiwa). Dialog keagamaan yang berbasis ilmu dan kemanusiaan perlu dikembangkan untuk menjembatani kesenjangan antara pemahaman agama dan realitas sosial.

Seks dan gender adalah dua konsep yang berbeda: yang satu bersifat biologis, yang lain bersifat sosial dan psikologis. Memahami perbedaan ini bukan berarti menolak sains atau agama, melainkan menghargai kompleksitas manusia sebagaimana adanya. Setiap individu berhak atas identitasnya, selama tidak merugikan pihak lain. Masyarakat yang sehat adalah yang mampu mengakui keragaman—baik dalam biologi maupun identitas—tanpa menghakimi. Pendidikan publik, regulasi inklusif, dan dialog antaragama dan ilmu pengetahuan menjadi kunci untuk membangun ruang sosial yang aman bagi semua. Baik dalam konteks Barat maupun Muslim, tantangannya bukan pada konsep gender itu sendiri, tetapi pada kemampuan kita untuk berempati, belajar, dan tumbuh bersama. Seperti yang diajarkan oleh banyak tradisi spiritual: menghormati sesama adalah bentuk penghormatan terhadap Sang Pencipta. Di situlah letak kemajuan sejati sebuah peradaban.

Rujukan

  1. World Health Organization (WHO). (2023). Gender and Health.
  2. United Nations. (2022). Free & Equal: What’s the Difference Between Sex and Gender?
  3. Intersex Society of North America (ISNA). (2021). What is Intersex?
  4. UNESCO. (2023). Gender-Transformative Education in Asia.
  5. Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR). (2022). Intersex Human Rights.
  6. Kugle, S. (2010). Homosexuality in Islam: Critical Reflection on Gay, Lesbian, and Transgender Muslims.
  7. Al-Ghazali. Ihya Ulum al-Din, Kitab Adab al-Nikah.
  8. American Psychological Association (APA). (2021). Guidelines for Psychological Practice with Transgender and Gender Nonconforming People.
  9. Komnas HAM RI. (2023). Laporan Hak Asasi Manusia bagi Kelompok Rentan.
  10. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Statistik Gender dan Ketenagakerjaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *